NUR HIDAYAT DAN MAZIYAH HIDAYATI

Selamat datang di Blog ENHA-Hida. Catatan Kecil dari Sudut Seblak.

Latest Posts
Beberapa hari ini Akmal sedang gandrung dengan lagu-lagu Sami Yusuf. Terutama lagu The Day of Eid. Dari 14 lagu yang terdapat di dalam video compact disc (VCD) tayangan konser Sami Yusuf yang diunduh dari Youtube, hanya lagu itu yang selalu ingin didengarnya.

Pasalnya, nuansa rancak dari lagu tersebut sangat sesuai dengan karakternya yang periang. Selain itu, tampilan konser yang dimulai dengan kalimat “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah, Alayhi Salatullah” (sekaligus reff lagu tersebut) adalah satu-satunya kalimat yang bisa dihapalkannya. Dia pun menyebut The Day of Eid dengan istilah “La ilaha illallah”.

Sejak mengenal lagu tersebut, Akmal hampir setiap hari berusaha “tampil” untuk menyanyikannya. Panggungnya bisa kasur, atau cukup lantai ubin di rumah kami yang sederhana. Meski belum fasih benar melafalkan kalimat “La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah, Alayhi Salatullah, Alayhi Salatullah”, dia berusaha “tampil” dengan memegang mik pasangan keyboard mainannya. Dengan intonasi dan gayanya yang masih cadel, dia berusaha tetap “tampil prima”.

Bahaya
Yang menarik untuk diceritakan sebenarnya bukan ulahnya yang bergaya seperti Sami Yusuf. Tapi, ketika tiba-tiba dia menyodorkan jack dari mik yang dipegangnya kepada saya dan ibunya. Sambil menunjukkan ujung jack tersebut, ia berkata dengan mantap, “Pak, ini namanya bahhaya. Bahhaya. Ndak oléh dipédhang (baca: Ndak boleh dipegang)”.

“Bahaya? Kok adik malah pegang?”, tanya saya dan ibunya. Dia pun menjawab dengan enteng, “Ndak papa sé”. Lalu, dia pun kembali bermain dan menyanyi tanpa beban, layaknya anak kecil seumurnya.

Kenapa jack tersebut disebutnya sebagai “Si Bahaya”? Cerita tersebut bermula dari kebiasaannya melepas jack dari antena TV. Berkali-kali dia melakukan hal tersebut tapi selalu saja dia tidak menghiraukan peringatan ibunya yang mengatakan bahwa tindakan itu berbahaya.

Kisah sepele tersebut membuat saya belajar tentang dua hal sekaligus. Pertama, bahwa secuek apapun seorang anak dalam merespons kata-kata atau tindakan orang tuanya, sebenarnya kata dan tindakan itu terekam kuat dalam memorinya. Di sinilah kehati-hatian orang tua sangat diperlukan dalam mengingatkan sang anak.

Satu rambu yang tidak boleh dilanggar adalah: jangan pernah lukai perasaan anak dengan kalimat atau tindakan yang bernuansa kekerasan. Karena, di tengah kecuekan seorang anak, sebenarnya ia merekam dengan kuat kalimat dan tindakan orang tuanya.

Pelajaran kedua, nilai lebih mudah dicerna anak-anak daripada simbol. Karena itu, sebuah nilai pun kadang disalahpersepsi oleh seorang anak sebagai simbol. Sebuah jack menjadi berbahaya jika dialiri listrik, tapi bagi seorang anak kecil seperti Akmal, sekali disebut berbahaya maka selamanya ia akan menyebut jack sebagai “Si Bahaya”. Tak peduli ada aliran listriknya atau tidak.

Pikiran saya pun melayang ke tindakan sekelompok orang yang tega merusak tempat-tempat hiburan hingga tempat ibadah kelompok yang tidak sepaham dengannya. Tanpa kompromi, mereka umumnya menyebut kedua tempat tersebut dengan istilah “tempat maksiat” dan “tempat ibadah kelompok sesat” yang harus diperangi dan dihancurkan.

Apakah kebenaran bisa ditegakkan dengan kekerasan? Ataukah, kesesatan pemikiran memang bisa diluruskan dengan menghancurkan bangunan fisik? Atau, adakah keberagamaan sekelompok orang tersebut masih seperti Akmal yang menyebut jack dengan sebutan “Si Bahaya”? Wallahua’lam.

Di Bawah Sinar Mentari Graha Pena, 29/7/2008
Selamat datang di Blog Enha-Hida, rumah maya keluarga Nur Hidayat dan Maziyah Hidayati. Bersama kami, dua anak tercinta: Putri Zakia Hidayati dan Mujtaba Akmal Hidayat.

Putri Zakia Hidayati, putri pertama kami, lahir pada 14 Oktober 2002. Gadis kecil yang biasa kami panggil Zaza ini terlahir di Muslimat Medical Center Singosari, Malang pada pukul 16.50 WIB. Tahun ini, Zaza kecil kami baru menyelesaikan proses belajar pra-sekolahnya di TK Al-Choiriyah, Seblak, Jombang. Blog ini adalah sebuah “pertanda” bahwa kami harus terus belajar, agar dapat terus menemani putri kecil ini meneruskan proses belajarnya.

Akmal, begitulah putra kedua kami biasa dipanggil. Nama lengkapnya Mujtaba Akmal Hidayat. Lahir empat tahun setelah kakaknya, Akmal kecil tumbuh dalam suasana riang. Sejak mulai belajar bicara, jagoan kecil ini punya bakat melucu. Saking lucunya, tidak jarang kami memanggilnya dengan sebutan “Markeso Kecil”. Markeso adalah nama salah satu pelawak asli Jawa Timur.

Seblak, 25 Juli 2008